Rabu, 20 Juli 2016

SISTEM TATA RUANG DESA ADAT PENGLIPURAN



Bali merupakan salah satu destinasi wisata terpopuler di Indonesia yang sudah mendunia. Memiliki banyak sekali keindahan alam yang tidak kalah dengan negara asing lainnya. Dikelilingi oleh berbagai pantai yang sangat indah nan eksotis, tentu saja hal tersebut menarik banyak sekali wisatawan asing maupun lokal. Akan tetapi, apakah Bali hanya memiliki pantai untuk dijadikan sebagai destinasi wisata? Tentu tidak.
      Bali atau yang biasa diberi julukan Pulau Dewata ini memiliki berbagai destinasi wisata tradisional yang masih sangat kental dengan adat-adat masyarakat Bali. Tentu hal tersebut sangat menarik bagi para wisatawan, terutama bagi wisatawan asing yang ingin lebih kenal dengan adat Indonesia. Seperti tempat-tempat yang telah dikunjungi oleh kami, rombongan dari SMA Negeri 1 Manyar, yaitu Desa Adat Panglipuran.
Di dalam Desa Penglipuran, ada sebuah kaidah arsitektur yang disebut dengan nama awik-awik untuk mengatur semua tata cara pembangunan.  Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang), Desa Penglipuran menganut sistem Tri Mandala, yakni sebuah sistem penataan ruang yang dibagi menjadi tiga zona peruntukan. Istilah tersebut berasal dari dua kata, yakni “Tri” dan “Mandala”. Tri memiliki arti “tiga”, sedangkan Mandala memiliki arti “ruang”. Sehingga pengertian etimologis dapat diperoleh dari kedua arti kata tersebut, yakni “Tiga Ruang”. Atau dalam penjabarannya, Tri Mandala adalah pembagian tata ruang kawasan menjadi tiga zona berdasarkan tingkat status nilai kultural (peraturan adat) yang setiap zona tersebut memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan status nilai yang dimiliki. 
Pembagian tata ruang tersebut adalah sebagai berikut:

Gapura yang berada di Utama Mandala.
  1. Utama Mandala (Tempat Suci)
      Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai tertinggi di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan Gunung (di kawasan Desa Panglipuran, zona Utama berada di bagianUtara). Di zona ini terdapat sebuah Pura sebagai tempatperibadatan pusat dari seluruh warga Desa Panglipuran.Ditempat inilah orang-orang Panglipuran melakukan kegiatan sembahyangkepada Sang Hayang Widhi yang mereka percaya sebagaiTuhan mereka.











  2. Madya Mandala (Rumah Keluarga)
Gerbang rumah salah satu penduduk.
Zona ini merupakan tempat dengan nilai tengah, antara Utama dan Nista dan digunakan sebagai tempat tinggal warga. Rumah utama yang berada di Desa Penglipuran berjumlah 76 rumah yang dibagi menjadi oleh jalan utama menjadi 32 rumah di tiap sisi jalan. Penomoran rumah menggunakan sistem modern, yakni nomor ganjil berada di satu sisi dan nomor genap berada di sisi lain. Rumah dengan nomor ganjil berada di sisi timur jalan, sedangkan rumah dengan nomor genap berada di sisi barat jalan. Nomor rumah tersebut diletakkan di gerbang rumah beserta sebuah papan informasi yang menunjukkan kondisi penghuni rumah, yakni nama kepala keluarga, jumlah penghuni laki-laki, jumlah penghuni wanita, serta sebuah keterangan tentang penghuni rumah.







33. Nista Mandala
Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai terendah di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan laut (di kawasan Desa Penglipuran, zona Nista berada di bagian Selatan). Karena itu, di zona ini terdapat sebuah kompleks pemakaman.
 
Denah Desa Adat Panglipuran


Setiap tapak rumah warga, di dalamnya terdapat beberapa bangunan yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dengan penempatan tiap bangunan disesuaikan dengan peraturan Tri Mandala. Beberapa bangunan tersebut adalah, tempat tidur orang tua (berada di bagian utara), tempat tidur anak (berada di bagian barat), tempat memotong gigi (metatah) dan nagaben (berada di bagian selatan) serta kandang dan toilet (berada di bagian timur). Perletakan ini sesuai dengan peraturan dalam Tri Mandala, yakni bagian utara adalah zona Utama dan bagian timur tapak adalah zona Nista. 
Perletakan satu rumah warga dengan rumah warga yang lain, saling bergandengan tanpa dipisahkan oleh pagar pembatas dan ada sebuah jalur yang menghubungkan antar-rumah tersbut. Hal ini dilakukan agar warga dengan tetangga sekitar dapat melukakan hubungan yang langsung sehingga tetap terjaga keharmonisan hubungan antar-warga.
Pengaruh arsitektur dari luar Desa Penglipuran mulai dirasakan sejak tahun 1960-an, yakni berupa bahan bangunan, interior, dan perabotan modern digunakan dalam pembangunan, tetapi ciri khas arsitektur tradisional harus tetap terjaga. Salah satu ciri tersebut adalah bentuk gerbang rumah, tata letak bangunan di dalam rumah, dan tidak boleh dibangun bangunan bertingkat. Jika sebuah keluarga memiliki jumlah anggota banyak, maka pembangunan rumah baru dilakukan dengan cara membangun di belakang rumah utama seluas 200 m2 (sikut satak) sehingga jika dilihat dari jalan desa, jumlah rumah di Desa Penglipuran tetap 76 rumah. Pada masing-masing rumah memiliki gapura sebagai pintu masuk. Gapura tersebut diapit tembok setinggi mata yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau Di dekat gapura ditempatkan pura sanggah sebagai tempat sembahyang keluarga.
Karena setiap rumah memiliki luas lahan yang sama sehingga untuk mengadakan hajatan besar diadakan di Bale Banjar yang terletak di dekat gapura desa. Selain itu, Bale Banjar juga berfungsi sebagai tempat berkumpul penduduk ketika rapat, pemilihian kepala desa, imunisasi, dan lain-lain.
Pengaturan rumah penduduk pada desa Penglipuran, dengan lebih mengutamakan letak sanggah yaitu sebelah timur, paon meten bagian utara dari bale upacara, sedangkan bagian barat laji dan lumbung. Pada Sangah terdapat 3 rong sebagai tempat sesembahan kepada tiga dewa utama kehidupan. Sedangkan pada bagian Paon meten merupakan tempat tinggal, mulai dari dapur, tempat tidur dan tempat air.
Suatu upaya yang sungguh arif dan brilian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat mengamati arsitektur tradisional Bali di desa Penglipuran. Desa Penglipuran yang mempunyai potensi material bambu di daerah sekitarnya. Para undagi menerapkannya dan menyandingkannya dengan material kayu. Dan hal inilah yang membuat arsitektur nusantara mempunyai jati diri di dalam kancah arsitektur dunia. Seperti halnya arsitektur tradisional di desa Penglipuran ini pun menggunakannya penyelesaiannya yang sama untuk menyambung bagian satu dengan bagian yang lain.
Di dalam ilmu kostruksi kita mendapati bahwa suatu bangunan dibagi mejadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Gaya disalurkan melewati ketiga bagian tersebut. Begitupun juga apabila kita kaji bangunan-bangunan yang ada di Bali. Hal tersebut umumnya berlaku pada bangunan candi sebagai tempat peribadatan.    
           Pada arsitektur Bali, ada beberapa jenis bangunan yang menonjol yaitu rumah tempat tinggal, tempat ibadah, bangunan tempat musyawarah, dan rumah penyimpanan. Tidak seperti arsitektur modern, arsitektur tradisional Bali dijiwai nilai-nilai religious dan transendental mulai dari konsep sampai proses pembuatan dan pasca pembuatan. Menghubungkan yang sacral dan profane.
Typologi bangunan tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madya dan sederhana. Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakepat. Yang berarti bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang Sembilan, dan bertiang duabelas. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
a.      Sakepat
Bangunan sakepat dilihat dari luas ruang tergolong bangunan sederhana luasnya ±3m x 2,5m. bertiang empat denah segi empat. Atap dengan kostruksi kampiah atau limasan. Sebgai variasi dapat ditambah dengan satu tiang parba, satu atau dua tiang pandak. Dapat pula tanpa balai-balai dalam fungsinya untuk balai patok atau fungsi lain yang tidak memerlukan adanya balai-balai. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau canggah wang. 
b.      Sakenem
Bangunan sakenem berbentuk segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebarnya. Luas bangunan ±6m x 2m, mendekati dua kali luas sakepat. Konstruksi bangunan terdiri dari enam tiang berjajar tiga-tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan oleh suatu balai-balai atau empat tiang pada satu balai-balai dan dua tiang di teben pada satu balai-balai dengan dua saka pandak. Hubungan balai-balai dengan kostruksi perangkai sunduk waton, likah dan galar. 
Konstruksi atap dengan kampiah atau limas an. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan tingkat kualitasnya. 
c.       Sakutus
Diklasifikasikan sebagai bangunan madya dengan fungsi tunggal untuk tempat tidur yang disebut bale meten. Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 5m x 2,5m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua balai-balai. Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton/ selimar, likah, dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sinduk dengan lubang tiang sanggawang tidak ada pada sekutus. Konstruksi atap menggunakan sistem kampiyah bukan limasan, difungsikan untuk sirkulasi udara selain udara yang melewati celah antara atap dan kepala tembok. 
d.      Astasari
Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 4m x 5m. tinggi lantai kurang lebih 0,60m dengan tiga atau empat anak tangga ke arah natah. Bangunan dengan dinding penuh. Dinding setengah sisi dan setengah tinggi pada sisi teben kauh dan terbuka ke arah natah.

Konstruksi bangunan dengan satu balai-balai mengikat empat tiang dan empat tiang lainnya berdiri dengan sanggawang sebagai stabilitas. Pemaku tiang pada balai balai dengan sunduk dan lait, pasak, pada hubungannya. Konstruksi atap limas an dengan dedeleg pada pertemuan puncak atap. 
Bahan bangunan, lantai pasangan batu alam, dinding pasangan batu cetak atau batu bata peripihan. Tiang dan rangka atap kayu. Rangkap atap iga-iga dari bambu dan penutup atap dari alang-alang. Seluruh konstruksi menampakan keterlanjangan warna alam sebgai warna aslinya.

Lampiran :


1.  Amalia Diah R.I.         (06)
2.  Anindita Nourma H.    (07)      
3.  Rizka Aulia P.              (24)