Bali
merupakan salah satu destinasi wisata terpopuler di Indonesia yang sudah
mendunia. Memiliki banyak sekali keindahan alam yang tidak kalah dengan negara
asing lainnya. Dikelilingi oleh berbagai pantai yang sangat indah nan eksotis,
tentu saja hal tersebut menarik banyak sekali wisatawan asing maupun lokal.
Akan tetapi, apakah Bali hanya memiliki pantai untuk dijadikan sebagai
destinasi wisata? Tentu tidak.
Bali
atau yang biasa diberi julukan Pulau
Dewata ini memiliki berbagai destinasi wisata tradisional yang masih sangat
kental dengan adat-adat masyarakat Bali. Tentu hal tersebut sangat menarik bagi
para wisatawan, terutama bagi wisatawan asing yang ingin lebih kenal dengan
adat Indonesia. Seperti tempat-tempat yang telah dikunjungi oleh kami,
rombongan dari SMA Negeri 1 Manyar, yaitu Desa Adat Panglipuran.
Di dalam Desa Penglipuran, ada sebuah kaidah arsitektur yang
disebut dengan nama awik-awik untuk mengatur semua tata cara
pembangunan. Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang), Desa
Penglipuran menganut sistem Tri Mandala, yakni sebuah sistem
penataan ruang yang dibagi menjadi tiga zona peruntukan. Istilah tersebut
berasal dari dua kata, yakni “Tri” dan “Mandala”. Tri memiliki arti “tiga”,
sedangkan Mandala memiliki arti “ruang”. Sehingga pengertian etimologis dapat
diperoleh dari kedua arti kata tersebut, yakni “Tiga Ruang”. Atau dalam
penjabarannya, Tri Mandala adalah pembagian tata ruang kawasan menjadi tiga
zona berdasarkan tingkat status nilai kultural (peraturan adat) yang setiap
zona tersebut memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan status nilai yang
dimiliki.
Pembagian
tata ruang tersebut adalah sebagai berikut:
Gapura yang berada di Utama Mandala. |
1. Utama
Mandala (Tempat Suci)
Zona
ini merupakan tempat yang memiliki nilai tertinggi
di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan Gunung
(di kawasan Desa Panglipuran, zona Utama berada di bagianUtara). Di zona ini
terdapat sebuah Pura sebagai tempatperibadatan pusat dari seluruh warga Desa
Panglipuran.Ditempat inilah orang-orang Panglipuran melakukan kegiatan
sembahyangkepada Sang Hayang Widhi yang mereka percaya sebagaiTuhan mereka.
2. Madya Mandala (Rumah Keluarga)
Gerbang rumah salah satu penduduk. |
Zona ini merupakan tempat dengan nilai tengah,
antara Utama dan Nista dan digunakan sebagai tempat tinggal warga. Rumah utama
yang berada di Desa Penglipuran berjumlah 76 rumah yang dibagi
menjadi oleh jalan utama menjadi 32 rumah di tiap sisi jalan. Penomoran rumah
menggunakan sistem modern, yakni nomor ganjil berada di satu sisi dan nomor
genap berada di sisi lain. Rumah dengan nomor ganjil berada di sisi timur
jalan, sedangkan rumah dengan nomor genap berada di sisi barat jalan. Nomor
rumah tersebut diletakkan di gerbang rumah beserta sebuah papan informasi yang
menunjukkan kondisi penghuni rumah, yakni nama kepala keluarga, jumlah penghuni
laki-laki, jumlah penghuni wanita, serta sebuah keterangan tentang penghuni
rumah.
33. Nista Mandala
Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai terendah di antara
zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan laut (di kawasan
Desa Penglipuran, zona Nista berada di bagian Selatan). Karena itu, di zona ini
terdapat sebuah kompleks pemakaman.
Setiap tapak rumah warga, di dalamnya terdapat beberapa bangunan
yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dengan penempatan tiap bangunan
disesuaikan dengan peraturan Tri Mandala. Beberapa bangunan tersebut adalah,
tempat tidur orang tua (berada di bagian utara), tempat tidur anak (berada di
bagian barat), tempat memotong gigi (metatah) dan nagaben (berada di bagian
selatan) serta kandang dan toilet (berada di bagian timur). Perletakan ini
sesuai dengan peraturan dalam Tri Mandala, yakni bagian utara adalah zona Utama
dan bagian timur tapak adalah zona Nista.
Perletakan
satu rumah warga dengan rumah warga yang lain, saling bergandengan tanpa
dipisahkan oleh pagar pembatas dan ada sebuah jalur yang menghubungkan
antar-rumah tersbut. Hal ini dilakukan agar warga dengan tetangga sekitar dapat
melukakan hubungan yang langsung sehingga tetap terjaga keharmonisan hubungan
antar-warga.
Pengaruh
arsitektur dari luar Desa Penglipuran mulai dirasakan sejak tahun 1960-an,
yakni berupa bahan bangunan, interior, dan perabotan modern digunakan dalam
pembangunan, tetapi ciri khas arsitektur tradisional harus tetap terjaga. Salah
satu ciri tersebut adalah bentuk gerbang rumah, tata letak bangunan di dalam
rumah, dan tidak boleh dibangun bangunan bertingkat. Jika sebuah keluarga
memiliki jumlah anggota banyak, maka pembangunan rumah baru dilakukan dengan
cara membangun di belakang rumah utama seluas 200 m2 (sikut satak) sehingga
jika dilihat dari jalan desa, jumlah rumah di Desa Penglipuran tetap 76 rumah.
Pada masing-masing rumah memiliki gapura sebagai pintu masuk. Gapura tersebut
diapit tembok setinggi mata yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran
kerbau Di dekat gapura ditempatkan pura sanggah sebagai tempat sembahyang
keluarga.
Karena
setiap rumah memiliki luas lahan yang sama sehingga untuk mengadakan hajatan
besar diadakan di Bale Banjar yang terletak di dekat gapura
desa. Selain itu, Bale Banjar juga berfungsi sebagai tempat berkumpul penduduk
ketika rapat, pemilihian kepala desa, imunisasi, dan lain-lain.
Pengaturan
rumah penduduk pada desa Penglipuran, dengan lebih mengutamakan letak sanggah yaitu
sebelah timur, paon meten bagian utara dari bale upacara, sedangkan bagian
barat laji dan lumbung. Pada Sangah terdapat 3 rong sebagai tempat sesembahan
kepada tiga dewa utama kehidupan. Sedangkan pada bagian Paon meten merupakan
tempat tinggal, mulai dari dapur, tempat tidur dan tempat air.
Suatu
upaya yang sungguh arif dan brilian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat
mengamati arsitektur tradisional Bali di desa Penglipuran. Desa Penglipuran
yang mempunyai potensi material bambu di daerah sekitarnya. Para undagi
menerapkannya dan menyandingkannya dengan material kayu. Dan hal inilah yang
membuat arsitektur nusantara mempunyai jati diri di dalam kancah arsitektur
dunia. Seperti halnya arsitektur tradisional di desa Penglipuran ini pun menggunakannya
penyelesaiannya yang sama untuk menyambung bagian satu dengan bagian yang lain.
Di
dalam ilmu kostruksi kita mendapati bahwa suatu bangunan dibagi mejadi tiga
bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Gaya disalurkan melewati ketiga bagian
tersebut. Begitupun juga apabila kita kaji bangunan-bangunan yang ada di Bali.
Hal tersebut umumnya berlaku pada bangunan candi sebagai tempat
peribadatan.
Pada arsitektur Bali, ada
beberapa jenis bangunan yang menonjol yaitu rumah tempat tinggal, tempat
ibadah, bangunan tempat musyawarah, dan rumah penyimpanan. Tidak seperti
arsitektur modern, arsitektur tradisional Bali dijiwai nilai-nilai religious
dan transendental mulai dari konsep sampai proses pembuatan dan pasca
pembuatan. Menghubungkan yang sacral dan profane.
Typologi
bangunan tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama,
madya dan sederhana. Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakepat.
Yang berarti bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang
delapan, bertiang Sembilan, dan bertiang duabelas. Hal tersebut dijelaskan
sebagai berikut :
a.
Sakepat
Bangunan sakepat dilihat dari
luas ruang tergolong bangunan sederhana luasnya ±3m x 2,5m. bertiang empat
denah segi empat. Atap dengan kostruksi kampiah atau limasan. Sebgai variasi
dapat ditambah dengan satu tiang parba, satu atau dua tiang pandak. Dapat pula
tanpa balai-balai dalam fungsinya untuk balai patok atau fungsi lain yang tidak
memerlukan adanya balai-balai. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau canggah
wang.
b.
Sakenem
Bangunan sakenem berbentuk segi
empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebarnya. Luas bangunan ±6m x
2m, mendekati dua kali luas sakepat. Konstruksi bangunan terdiri dari enam
tiang berjajar tiga-tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan oleh
suatu balai-balai atau empat tiang pada satu balai-balai dan dua tiang di teben
pada satu balai-balai dengan dua saka pandak. Hubungan balai-balai dengan
kostruksi perangkai sunduk waton, likah dan galar.
Konstruksi atap dengan kampiah
atau limas an. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan
tingkat kualitasnya.
c.
Sakutus
Diklasifikasikan sebagai
bangunan madya dengan fungsi tunggal untuk tempat tidur yang disebut bale
meten. Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 5m x 2,5m.
Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua
balai-balai. Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton/ selimar, likah, dan
galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sinduk dengan lubang
tiang sanggawang tidak ada pada sekutus. Konstruksi atap menggunakan sistem
kampiyah bukan limasan, difungsikan untuk sirkulasi udara selain udara yang
melewati celah antara atap dan kepala tembok.
d.
Astasari
Bentuk
bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 4m x 5m. tinggi lantai kurang
lebih 0,60m dengan tiga atau empat anak tangga ke arah natah. Bangunan dengan
dinding penuh. Dinding setengah sisi dan setengah tinggi pada sisi teben kauh
dan terbuka ke arah natah.
Konstruksi
bangunan dengan satu balai-balai mengikat empat tiang dan empat tiang lainnya
berdiri dengan sanggawang sebagai stabilitas. Pemaku tiang pada balai balai
dengan sunduk dan lait, pasak, pada hubungannya. Konstruksi atap limas an
dengan dedeleg pada pertemuan puncak atap.
Bahan bangunan, lantai pasangan
batu alam, dinding pasangan batu cetak atau batu bata peripihan. Tiang dan
rangka atap kayu. Rangkap atap iga-iga dari bambu dan penutup atap dari
alang-alang. Seluruh konstruksi menampakan keterlanjangan warna alam sebgai warna
aslinya.
Lampiran :
1. Amalia Diah R.I. (06)
2. Anindita Nourma H. (07)
3. Rizka Aulia P. (24)